Gadis Manis Bermata Coklat
     Kurang lebih 2 tahun yang lalu, aku John,  seorang remaja biasa. Tidak tampan juga tidak jelek, duduk di bangku kelas 8 di salah satu SMP favorit di Bogor. Pada hari itu di kalender menunjukan bahwa itu adalah hari senin. Kulihat jam di tembok yang berada di depan mukaku telah menunjukan pukul 6.30. telat! Itulah kata-kata yang terulang dalam benakku.
                “Bu, kenapa ibu ga bangunin aku?” tanyaku dengan nada yang menunjukan sedikit kekesalan.
 “Lah kenapa nyalahin ibu? Kamu nggak sadar apa Adzan segitu gedenya berkumandang bersahut2an masih ga bisa bangun?! Sudah cepat mandi biar sarapan saja kamu di sekolah!” kata ibu sambil membuatkan aku sarapan pagi untuk di sekolah nanti.
   Setelah persiapan selesai, dengan tergesa-gesa aku masuk ke mobil dan menyuruh supirku agar ngebut. Supirku yang telah mengenal baik jalanan di Kota Bogor, membantuku dengan menyetir mobil secepat mungkin agar tidak telat. yap, hari itu adalah pertama kalinya aku merasakan duduk di kelas 8.
                “ Alhamdulillah masih ada sisa waktu 5 menit lagi, makasih ya om!” kataku sambil menghela nafas lega
                “Oke ky!” sahut supirku yang biasa memanggilku dengan nama Kiky.
  Aku yang terburu-buru karena takut aku kehabisan bangku untuk duduk, mulai berlari kecil agar bisa cepat sampai di kelas. Untungnya ketika sampai di kelas aku masih kedapatan bangku. Aku mulai melihat ke sekeliling kelas, barangkali ada murid baru pindahan dari sekolah lain. Tiba-tiba mataku terpaku pada seorang gadis yang memakai kerudung.
   Perhatianku tertuju pada dirinya, entah apa yang membuatku terpaku. Kuperhatikan dia dari ujung kepala sampai ujung kaki. 
                “Sepertinya cewek ini alim deh, udah pake kerudung daritadi anteng pula,” pikirku sambil memandangi dia.
                “John! Ngapain lu ngeliatin gue terus!” tiba-tiba gadis tersebut berteriak dengan nada yang tengil.
                “Hah? Nggak kok gua nggak ngeliatin lu sumpah! Lu salah liat kali!” kataku sambil mencari alasan agar tidak ketahuan.
   Kaget. Itu yang kurasakan pada saat itu. Tak kusangka dia menyadari apa yang aku lakukan. Bel istirahat-pun berbunyi. Aku masih memperhatikan si gadis berkerudung itu, dan ternyata dugaanku meleset! Berbeda dari yang kubayangkan, sangat berbeda! Aku mengira dia adalah gadis yang feminim, tetapi aku menyadari bahwa dia adalah gadis tomboy yang berkerudung.
                
“Dia itu siapasih namanya? mantep siah kerudungan tapi tomboy. Brutal nih kayaknya hahaha,” tanyaku pada Herdi teman sebangkuku.
                “Oh si TOA itu? Itu namanya chacha. Anak basket tuh, kerudung iya tapi tomboynya minta ampun John! Udah mah suaranya gede lagi suka tereak-tereakan makanya dipanggil TOA,” jawab Herdi.
   Saat dia ingin keluar kelas, aku memanggilnya dengan panggilan khasnya “TOA”. Aku yang belum kenal dia-pun langsung di bentak.
                “Heh! Maksud lu apa manggil gua TOA?! Suara gua kayak TOA bukan?!” bentak dia padaku.
                “Emang suara lu kayak TOA. Tuh baru aja di keluarin hahahaha,” candaku pada dirinya.
   Mulai terlihat raut wajah kesal pada wajahnya, lalu dia mulai keluar kelas dan membanting pintu. Mungkin dia sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Bel istirahat telah berbunyi tanda waktu istirahat telah berakhir. 
                “Yah udah masuk lagi, gua belum jajan pula.... bakal laper deh entar,” kataku sambil memegang perut.
                ‘Hahaha sukurin tuh! Rasain tuh laper! Makanya gausah tengil sama gua!” ledek chacha sambil berjalan menuju tempat duduknya.
   Aku hanya bisa terdiam. Tak kusangka dia bisa membalas ledekkanku dengan waktu yang cukup singkat. Kesal rasanya dikalahkan oleh seorang gadis. Bel 3 kali berbunyi tanda waktu sekolah sudah berakhir, aku langsung pulang ke rumah karena ingin bermain komputer.
   Keesokan harinya, ada pelajaran matematika dan fisika yang merupakkan keahlianku. Aku selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh guruku. Ternyata chacha, si TOA, merasa bahwa aku menjadi orang yang sombong. Terlebih-lebih kemarinnya aku meledek dia dan pikirku mungkin dia juga akan menganggapku sebagai orang yang tengil.
   Ternyata dugaanku benar, beberapa hari kemudian chacha mulai menunjukan kekesalannya kepada aku. Aku sedang bermain laptop di kelas dan tiba-tiba dia memukulku menggunakan penggaris kayu yang panjangnya 1 meter.
                ‘Adaw! Apa-apaan sih lu cha! Tengil amat sih gua ga salah apa-apa ge! Gua lagi maen malah di pukul!” kataku sambik meringis kesakitan.
                “Sukurin tuh balesan gua tuh soalnya lu tengil waktu itu dan lu kata gua sombong!” katanya dengan tampang ngeyel.
   Muncullah hasrat untuk membalas perbuatan chacha. Aku melihat sekeliling dan kulihat ada sebuah kemoceng. Ya, itu adalah suatu alat yang tepat untuk membalas perbuatannya. Ketika sudah kuambil langsung aku pukulkan ke chacha. Walaupun tidak sekeras chacha memukul kepadaku, tapi ya sudah lah aku sudah merasa puas.
   Tetapi rasa puas tersebut tidak berlaku pada chacha. Dia malah membalasku dan mengajakku untuk mengadu alat yang dipegang masing-masing. Pada saat-saat seperti itu, aku menggunakannya untuk berkenalan. Aku tanya siapa nama panjangnya, dia menjawab dengan senyumnya yang manis, Laroyba Unsa Soraya.
   Aku terpana melihat senyumnya itu. Baru pertama kalinya aku melihat senyum yang semanis dan seindah itu selain senyum milik ibu. Akibat senyumnya itu aku makin penasaran siapakah dirinya sebenarnya. 
   Berhari-hari aku dan chacha selalu bertengkar dengan cara seperti itu. Sampai- sampai aku membuat roknya sobek sampai 3 kali. Aku kira dia akan marah tetapi dia malah tersenyum dan berkata bahwa itu adalah hal yang wajar.
   Keesokan harinya ketika aku sedang bermain komputer kelas, Chacha datang menghampiriku. Dia bertanya apakah aku mempunyai handphone. Aku menjawab tidak, karena pada saat itu handphone milikku diberikan pada nenekku. 
   Pada malamnya, ketika aku sedang bermain Facebook tiba-tiba aku terkejut dengan chat dari seseorang yang bernama Laroyba Unsa Soraya. 
“John!” ketiknya menyapaku pada malam itu
“Apa cha?” membalas sapaan dia. Ternyata dia sangat berbeda jika dalam kehidupan sosial biasa. Kesan dirinya yang tomboy mulai berkurang. Akhirnya saat itu kami mulai berkomunikasi lewat Facebook.
   Aktivitas kami hari demi hari tataplah seperti itu, pada saat sekolah kami bertengkar tetapi tidak pada saat malam hari. Lama-kelamaan mulai muncul perasaan yang tidak bisa di disinkron oleh otak. Dan makin kelamaan perasaan itu makin menjadi.
                “Apa yang sebenernya aku rasakan? Kok aku jadi aneh gini sih?” pikirku ketika sedang tiduran di kamarku.
   Keesokan harinya aku bercerita ke teman-temanku tentang apa yang aku rasakan. Kata mereka aku mulai ada perasaan suka terhadap Chacha. Karena aku masih belum paham betul makna dari kata suka sebenarnya. Aku bertanya kepada Herdi.
                “Di, naon sih suka teh?” tanyaku penasaran dengan logat sunda yang biasa aku gunakan sehari-hari
                “Itutuh...” jawabnya membuat aku makin penasaran apa arti kata “suka” tersebut
   Rasa penasaran yang begitu kuat akhirnya mendoronku untuk bertanya pada Chacha. Aku tunggu dia on facebook. Aku lihat ada namanya dalam list chat lalu aku mulai menyapa dia.
                “Cha, gua pengen nanya sesuatu nih. Suka itu apasih?” ketikku keherean-heranan.
                “Ya gitu, susah diungkapin kata-kata. Lu sih belajar mulu makanya nggak pernah ngerasain apa itu suka!” ledeknya pada adku
                “Hahaha bisa aja lu, lagian gua ge heran kenapa coba ini perasaan muncul tiba-tiba. Padahal gua nggap pernah bertingkah macem-macem,” ketikku pada chat Facebook.
   Mungkin pernyataan dari aku membuat dia penasaran siapa sih gadis yang aku “suka”. Dia mulai menanyai aku dengan menyebutkan seluruh nama  gadis di kelas. Tak terkecuali dirinya yang disebutkan paling akhir. Dia bertanya apakah aku suka si Ini atau si Itu.
   Pertanyaan terakhir yang diketik oleh dirinya yang berisi, “lu suka gue bukan? Nggak mungkin! Gua kan tomboy hahahaha,”  membuatku berasumsi kalau dia juga memiliki perasaan yang sama pada diriku.
   Aku membalas chat dia dan mulai berterus terang dengan apa yang aku rasakan. Ternyata benar dugaanku, dia, gadis manis tomboy yang berkerudung, memiliki perasaan yang sama. Aku heran kenapa bisa terjadi hal kebetulan seperti ini.
   Chat itu berlangsung pada bahasan yang aneh mengenai “suka”. keesokan harinya pun kami menjadi malu-malu karena masing-masing sudah bicara terbuka walaupun tidak secara langsung. Hari-hari selanjutnya aktivitas kami yang selalu bertengkar di dalam kelas mulai berubah menjadi acara tatap-menatap. Kusadari suatu hal yang janggal, saat aku melihat mata Chacha, aku baru menyadari bahwa pupil matnya itu berwarna coklat. Sungguh mata yang indah!
   Keesokan harinya setelah mendapat bujukan dari teman-teman untuk “menembak” Chacha, aku mulai memberanikan diri untuk berbicara secara langsung pada dirinya. Karena pada hari-hari sebelumnya aku sudah berlajar bagaimana caranya untuk melakukan hal seperti itu pada seorang gadis.
  25 November 2009, pada saat aku pulang sekolah di dalam kelas. Aku mulai berbicara sesuai yang dia ajarkan padaku. Aku kira itu akan gagal, faktanya malah berkebalikan dengan yang sesungguhnya. Akhirnya kami menjalin hubungan yang disebut “pacaran”
   Hubungan kami masih berjalan samapai sekarang, aku merasa beruntung mendapatkan gadis yang bernama Laroyba Unsa Soraya itu. Gadis manis, berkulit sawo matang dengan pupil mta coklat yang indah, yang dapat membuat hari-hariku terasa berbeda.
sumpah........ awal awal baca ini aja gue ngakak banget sumpah!!!! hahahahahaha kenapa nama junnya harus diganti jd JOHN?! sedangkan nama gue dan herdi ga diganti-_- sebenernya malu juga sih wkwkwkwk cuma ini tuh sesuatu banget. sosweet banget dan gue suka banget! ini bikin gue nostalgia. yap awal kisah gue ketemu sm jun emang kaya gini. dancerpen ini dia buat untuk memenuhi tugas sekolahnya hahahahahaha thanks a lot my dear :3 :* :D